Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

5 Teknik Menggali Kritik-Saran dari Pembaca Pertama

5 Teknik Menggali Kritik-Saran dari Pembaca Pertama

Selesai menulis dan melakukan swaedit naskah buku, jangan buru-buru menyerahkannya kepada penerbit. Sebaiknya, berikan dahulu naskah tersebut kepada setidaknya dua orang yang memahami tema buku Anda. Mintalah mereka membacanya dan memberi kritik-saran, supaya karya itu makin matang.

Setelah para pembaca pertama itu tamat membacanya, kita perlu mewawancarai mereka sebentar. Tujuannya, untuk mendapatkan kritik serta saran yang mendalam. Nah, pastikan Anda melakukan lima hal ini.


(1) Hargai Kesediaannya Memberi Kritik-Saran

Sejak awal, tanamkan di benak bahwa pembaca pertama itu sudah bersusah payah membaca naskah kita dan meluangkan waktunya untuk memberikan kritik-saran. Artinya, ia peduli dengan penyempurnaan karya kita.

Maka ucapkanlah terima kasih dengan tulus, baik sebelum ia menyampaikan pendapatnya maupun setelahnya. Dengan menghargainya, ia akan balik menghargai kita dan karya kita.

Bentuk penghargaan lainnya adalah dengan menyiapkan pulpen dan kertas saat mewawancarainya, atau dengan merekamnya. Tentu saja, atas seizinnya. Dengan demikian, ia tahu bahwa pendapatnya memang kita butuhkan.

(2) Biarkan Ia Tuntas Menyampaikan Kritik-Sarannya

Mulailah dengan menanyakan apa komentarnya secara umum. Lalu, lanjutkan dengan hal-hal penting yang lebih detail.

Dengarkan baik-baik penjelasannya. Jangan membantah, kecuali untuk meluruskan hal-hal yang fatal. Contohnya, menurutnya tokoh kita mencuri mobil saat berusia 15 tahun. Padahal, sebenarnya tokoh itu hanya membayangkan pencurian mobil. Dalam kasus seperti ini, silakan mengoreksinya, supaya kritik-saran yang muncul dapat lebih tajam dan relevan.

Pun, jangan pernah mengitervensi, mencoba mengarahkan (dengan pendapat kita sendiri), memotong atau menyelanya.

Bahkan ketika narasumber itu (maaf) gagap, gagu, atau memang kurang cakap berbicara, bersabarlah hingga penjelasannya berakhir. Jangan “membantunya” dengan mengajukan opini kita sendiri kepadanya. Sebab, tindakan semacam itu berpotensi membuatnya tidak nyaman, merasa didikte, dan kurang dihargai. Biarkan ia menyusun opininya sendiri secara utuh dan alami.

Tugas kita cukup mendengarkan sambil sesekali mengangguk, mencatat, tersenyum, dan mengucapkan kata-kata ringan seperti:

  • "Oooh..."
  • "Oke..."
  • "Begitu?"
  • "Hahaha, siap, siap..."
  • "Wow, terima kasih."

Jangan salah, kata-kata ringan semacam itu bukanlah tergolong selaan atau memotong pembicaraan. Justru kata-kata tersebut akan mengirim kesan bahwa kita benar-benar mendengarkannya.

Takkan ada masalah, asalkan jangan terlalu sering. Seberapapun positifnya kata “terima kasih”, misalnya, jika kita kerap mengucapkannya saat ia berbicara, itu akan menimbulkan ketidaknyamanan. Pembaca pertama itu akan dapat mendeteksi bahwa kita sebenarnya tidak suka mendengarkannya dan seperti ingin buru-buru mengakhiri percakapan.

(3) Gali Lebih Mendalam Kritik-Sarannya

Dalam rangka menggali kritik-saran pembaca pertama, sebenarnya kita sah-sah saja menyela, selama waktunya tepat dan memang perlu. Umpamanya, ketika ada kalimatnya yang kurang jelas.

Di saat seperti itu, bolehlah kita memotong dengan kalimat-kalimat penuh penghargaan seperti, “Maaf, saya potong. Ini menarik sekali, tapi [sebut bagian yang ingin diperjelas] itu bagaimana, ya? Saya kurang bisa menangkap maksudnya.”

Kalau selaannya seperti itu, alih-alih jengkel, lawan bicara biasanya justru akan bersemangat menjelaskan lebih dalam. Sebab, ia merasa ide dan pemikirannya ternyata diperhatikan dengan detail.

Namun, lebih baik lagi bila kita menunggu sampai penjelasannya benar-benar tuntas, barulah kita bertanya untuk mendalaminya. Makanya, catat setiap kata kunci atau hal-hal yang mengganjal dari penjelasannya.

(4) Berharaplah Kritik-Saran, Bukan Pujian

Kecuali jika pembaca pertama kita pengkritik tulen, hampir selalu orang yang kita mintai pendapat akan menyelipkan pujian untuk kita. Namun, jangan sampai pujian adalah satu-satunya yang ingin kita dengar. Karena pujian itu tidak ada nilainya di fase penyempurnaan karya ini.

Opini yang jujur ibarat jamu. Bisa pahit, bisa pedas. Yang penting, secara jangka panjang itu menyehatkan. Kalau tips #2 di atas kita jalankan dengan baik, biasanya komentar-komentar yang keluar otomatis akan jujur dan menyehatkan.

Sebaliknya, kalau kita suka memotong dan mendesak pembaca pertama. Misalnya, kita menodong atau mengarahkannya, “Bagaimana dengan bab 14? Bagus, kan? Itu lama dan susah, lo, nulisnya! Tapi hasilnya keren, kan? Luar biasa, kan?”

Didesak seperti itu, bisa ditebak, pembaca pertama kita akan cenderung mengiyakan. Asal situ senang (ASS), deh!

Fakta lucunya, kalau kita meminta kritik-saran kepada saudara atau teman sendiri, apalagi bila ia tidak punya tradisi literasi, komentar-komentar ASS besar kemungkinan terlontar. Hati-hati, komentar seperti itu tidak ada gunanya. Seperti junk food yang nikmatnya sementara, tetapi secara jangka panjang malah menimbulkan penyakit.

(5) Tak Perlu Alergi dengan Kritik-Saran

Jangan takut dengan kritik, sekalipun itu pedas dan tajam. Mengapa? Ada dua alasan.

Pertama, ada komentar negatif itu jauh lebih baik daripada tidak ada komentar sama sekali. Jika orang-orang tidak memiliki opini tentang karya kita, artinya karya kita diabaikan alias tidak dianggap ada. Bukankah itu jauh lebih menyakitkan?

Memang tidak mudah berbesar hati mendengar pendapat yang berbeda terkait karya kita. Namun, selalu ingat-ingat kembali mengapa kita perlu kritik-saran ini.

Kedua, masukan itu petunjuk untuk kita. Meskipun kita tidak setuju dengan kritikan pembaca pertama, kalau beberapa orang mengatakan A (padahal mereka tidak saling kenal), jangan-jangan memang A-lah yang benar! Sebaiknya, kita pertimbangkan baik-baik petunjuk itu.

Memang tidak mudah berbesar hati mendengar pendapat yang berbeda terkait karya kita. Namun, ingat-selalu ingat kembali mengapa kita perlu kritik-saran ini. Yaitu supaya karya kita lebih matang dan lebih bisa diterima oleh komunitas pembaca yang lebih luas. Pahami itu, niscaya kita akan legawa dengan segala kritik.

Setelah mendapat kritik-saran yang berharga, seleksilah mana yang bisa diterapkan, dan mana yang terlalu sepele atau hanya melantur. Di sinilah kenapa sejak awal, kita tidak perlu takut menerima kritik. Sebab, tidak pernah ada kewajiban untuk mengaplikasikan kritik-saran itu. Ambil saja yang menurut kita bagus dan layak untuk ditindaklanjuti.


Langkah terakhir, edit kembali karya kita berdasarkan kritik-saran yang terpilih. Sampai kita benar-benar sreg. Naskah sudah siap? Maka tinggal kirimkan ke Penerbit Temalitera. Kami tidak sabar untuk mendiskusikan penerbitannya dengan Anda!

Posting Komentar untuk "5 Teknik Menggali Kritik-Saran dari Pembaca Pertama"